CEO Crown Internasional Holding Group tersebut termasuk orang
keturunan Indonesia yang sukses di negara orang. Ia masuk dalam
komunitas Diaspora Indonesia.
Diaspora Indonesia adalah warga negara Indonesia (WNI) yang
bermukim di luar negeri karena belajar, bekerja atau berbisnis, orang
Indonesia yang sudah berganti menjadi warga negara setempat, atau orang
keturunan Indonesia karena pernikahan orang Indonesia dengan orang
asing, maupun orang asing yang cinta dengan Indonesia.
Nah, bagaimana kisahnya hidupnya sampai ia bisa sukses di Negeri Kangguru? Berikut, petikan wawancara wartawan VIVAnews, Alfin Tofler dan Antique, dengan Iwan Sunito ketika berada di Jakarta, beberapa waktu lalu:
Bisa diceritakan bagaimana Anda merangkak dari nol?
Hidup saya is fortunate life, hidup yang beruntung banget. Lahir di Surabaya, tinggal di Kalimantan. Rumah sederhana sekali terbuat dari kayu.
Pengalaman yang indah. Tidak ada anak kota yang merasakan berenang
di sungai yang dalam, adem, yang ada buayanya. Pengalaman malam-malam
mencari udang, dengan menggunakan tombak. Pengalaman indah seperti
lari-lari di bawah hujan, karena Kalimantan kan hujan tropikal. Rent forest. Kalimantan Tengah. Pangkalan Bun, it is really beautiful.
Pengalaman dari Mama. Orang tua merintis dari bawah. Dari kerja sama dengan orang, jualan kue. Mama begitu, papa juga begitu. Building business sendiri. It s a good experience.
Bagaimana kisah Anda saat sekolah?
Dulu sekolah saya berantakan. Tidak tahu kenapa. Saya rasa, karena
gurunya kurang bagus… hahahaha. Aku bilang, kalau satu tahun ngga bagus
sekolahnya, mungkin karena lingkungan. Kalau dua tahun, gara-gara
gurunya. Kalau 10 tahun, memang yang bodoh dirinya... hahaha.
Saya tidak tahu kenapa sekolah saya berantakan dari SD, SMP, SMA.
Lalu menjadi buntut-buntut. Padahal saya bukan orang nakal. Tapi saya
rasa, mungkin karena lingkungan saya tidak mendukung. Teman-teman saya
bukan achiever. Teman-teman saya orang-orang yang selalu
nyalahin guru, kalau nilainya tidak bagus. "Wah gurunya sentimen sama
saya, kalau saya tidak naik kelas," ujar mereka.
Saya tidak naik kelas, saat SMA kelas dua. Pada saat teman-teman
saya reuni, saya ditanya teman-teman SMA Sin Lui Surabaya, kamu lulusan
mana ya?
Memang saya tidak pernah lulus, saya bilang. Karena setelah tidak
naik kelas, saya lanjut satu tahun lagi di sekolah lain, lumayan nilai
saya cukup baik. Setelah itu, saya pindah ke Australia. Saya bertekad
mau berubah. Ijazah saya di Australia.
Kenapa sampai pindah ke Australia?
Karena orang tua saya memang menginginkan anak-anaknya sekolah ke
luar negeri. Mereka investasi, menyekolahkan anak ke luar negeri. Orang
tua saya masih di Surabaya, merintis bisnis. Masih bisnis kecil sekali.
Di Sydney, saya bersama kakak saya, yang lebih dahulu ke Australia satu
tahun sebelumnya.
Jadi Anda lebih banyak sekolah di Australia?
Di Kalimantan saya sampai SD. 12 tahun di Kalimantan. Setelah itu
pindah ke Surabaya SMP dan SMA. Lalu pada tahun 1984 akhir, mungkin pada
1985 sudah di Australia. Sekitar 28 tahun saya sudah tinggal di Sydney.
Jadi, lebih lama hidup saya di Sydney dari pada di Indonesia.
Setelah lulus SMA, saya ambil Bachelor of Architecture (Teknik Arsitektur). Setelah itu, Master of Constructor Management. Sambil sekolah, saya sudah mengambil proyek orang. Proyek kecil dan tidak dibayar pun saya mau.
Mengapa Anda bersedia tidak dibayar?
Soalnya, pengalaman itu yang sangat membantu banget. Sambil saya mengambil master degree pun saya sudah bangun rumah. Justru itu (pengalaman) bagusnya.
Sambil mendengarkan pengajar, saya tahu bagaimana practical prosess-nya. Kebanyakan student-student lain hanya dengar, tetapi nggak tahu di mana konteksnya. Saya dengar, saya menangkapnya lebih cepat.
Lulus arsitek, saya kerja sama orang dulu selama enam bulan. Salah satu company arsitek yang terkenal di Austrlia, yang membangun Olimpic 2000.
Apa saja pekerjaan Anda di perusahaan itu?
Saya kerjanya menggambar. Setelah enam bulan, saya nggak bisa
berdedikasi, saya keluar. Setelah itu, saya mengambil master. Tahun
1994, saya bangun bisnis saya sendiri. Pertama arsitektur. Setelah itu,
dua tahun kemudian saya bangun Crown Group. Kemudian saya bergabung
dengan beberapa group.
Saya lihat, hidup saya tuh breaktrough. Yang pertama itu adalah breaking for the past barrier, mengatasi keterbatasan masa lampau. Sekolah yang berantakan. I don’t know why. Tapi setelah saya usahkan, ternyata bisa.
Apa tantangan utama Anda saat di Australia?
Setelah sampai ke Australia, tantangan saya di negara bule, ya bahasa. Pengalaman kita ngga banyak. Network kita tidak besar. Network yang ada adalah student semua. Apalagi bahasa Jawa-nya masih medhok. Kalau ditanya, how are you? So far so good (penekanan pada huruf d)… hahaha. Iki kok sudah lama, masih so far so good.
Suka menggambar sejak kapan?
Dari kecil ya. Dulu saya pikir mau menjadi aero engineering atau
arsitek ya. Saya sukanya menggambar pesawat sebetulnya. Gambar pesawat
tempur, batman, superman. Latihan gambar. Jadi artistiknya keluar di
situ.
Mengapa memilih menjadi arsitek?
Saya mikir, mau fokus pada pesawat atau menjadi arsitek? Akhirnya,
saya mengatakan ingin membuka perusahaan sendiri. Kalau pesawat kan,
saya tidak terpikir juga waktu itu. Seharusnya saya mengambil pesawat
aja, dan saat ini kita akan membicarakan sudah menjual berapa pesawat
mas, hahaha.
Karena saya pikir, saya kerja sama siapa? Kalau buka perusahaan (pesawat) sendiri bagaimana? Karena saya pikir, mau menjadi enterpreuner mau businessmen. Ya, sudahlah jadi arsitek. Dari situ, saya bisa menggambar rumah-rumah. Ingin menjadi arsitek yang terkenal, leading architects seperti di Amerika.
Setelah jadi arsitek, saya menggambarkan untuk orang lain, pasti orang lain yang menentukan design-nya kan? Mending, saya bikin development sendiri aja. Sambil berjalan, kita lihat finansial modelnya. Saya pikir, arsitek jual jasa. Its really good. Tapi saya pikir, saya ngga mau deh, saya mending jadi developer. Menjadi developer ini kan high risk. Karena kamu investasi, dua tahun modalnya baru balik. Karena kalau arsitek, kan jual jasa. Tapi high risk... high profit, low risk... low profit. No risk...no profit. Hahaha.
Apa proyek pertama Anda?
Saat sekolah, menggambar garasi orang, dapur orang. Tahun ke-4,
orang sudah memberi order saya gambar pagar, kamar mandi, dapur. Kami
punya rumah juga, orang tua investasi, saya renovasi sendiri.
Dapat berapa?
Paling 200 dollar (Australia) di kasihnya. Ada yang malah tidak bayar. Keterlaluan itu customer-nya. "Saya nggak bisa bayar kamu, karena saya mau beli Mercy," kata dia.
Keterlaluan itu… hahaha. Sudahlah, ambil saja gambarnya, gratis. Untuk saya enjoy saja, karena saya belajar.
Kalau saya lihat ke belakang, itu aset besar, saya pernah baca outliers tentang 10.000 jam. Dibutuhkan 10.000 jam untuk memiliki best skill.
Karena. Kalau cuma 5.000 jam, paling menjadi guru piano. 7.000 jadi
profesional. 10.000 menjadi The Beatles. Karena membutuhkan puluhan ribu
jam, supaya fisik kita, pikiran kita, spirit kita menjadi satu. Seperti
pemain badminton atau tenis. Setelah ribuan jam terbang, dia akan tahu
bola lari ke mana. Bagaimana tahunya? Ya tahu saja, karena sudah total.
Saya lihat perjalanan hidup saya, berhubungan dengan gedung. Blue print-nya
gedung. Selesai sekolah, saya menikah kan. Saat acara pernikahan, saya
bilang sama temen-temen, tolong jangan berikan jam tangan, saya minta
uang saja untuk hadiah...hahaha. Karena kami mau travel ke Amerika, ajak istri saya honey moon. Dengan uang terbatas, kami holiday. Suatu saat, saya sampai ke Viena. Hotelnya mewah, tapi jauh dari kota.
Kalau guyonan sama istri, kalau foto kan biasanya orangnya
di depan, gedung di belakang. Kalau saya, gedung di depan, orangnya di
belakang. Tolong jauhan sedikit... hahahaha. Dari ratusan roll, 70
persen isinya gedung. Sisanya dia, marah dia. Hahaha.. its a great time.
Sekarang Anda warga negara Australia?
Saya sudah tinggal di sana (Australia), jadi memutuskan untuk di sana. Tapi, sejak 2 atau 3 tahun terakhir ini, saya merasa Indonesia its beautiful ya. Ya, saya enjoy saja. Saat ini kan, saya dalam fase lebih banyak mentoring, diundang ke mana-mana. Dalam hidup kita, pengalaman hidup akan menentukan masa depan.
Dalam bisnis, lima tahun pertama itu berat sekali. Dibilang susah,
saya selalu bersyukur. Dalam hidup saya, saya tidak melihat apa yang
belum jadi, tetapi saya melihat apa yang sudah jadi.
Saya tidak mengeluh dengan apa yang saya tidak punya, tetapi
bersyukur dengan apa yang saya punya. Karena pengalaman besar dimulai
dari kecil. Kepercayaan besar dari kepercayaan kecil. Building block. Tidak perlu bertanding dengan orang lain, be the best u can be.
Ya, bermula dari gambar-gambar. Panggil sub contractor untuk membangun. Setelah itu bangun sendiri. Joint dengan teman. 1994 desain aja. Pada 1996 properti development. Antara rentang itu, saya bangun rumah orang, membuat perusahaan konstruksi sendiri. Setelah dua tahun, saya kok cape sendiri. Kelelahan sekali. Akhirnya saya konsolidasi.
Jadi, apa yang membuat Anda berhasil?
Yang membuat saya berhasil, fokus. Satu hal terbaik lebih baik dari
pada banyak yang baik. Kalau fokus kan lebih tajam. Mengalami resesi
pada 2004. Itu keringet dingin. Jam empat pagi bangun, mau ngomong apa?
Proyek baru tidak bisa jalan, karena tidak ada dana. Proyek lama ga bisa
dijual, karena ga ada yang beli.
Saya juga belajar, kalau resesi itu menciptakan ide baru. Dari
kondisi krisis, saat itu, orang lain keluar, saya belajar untuk mencari product positioning yang luar biasa.
Saua create konsep resort living itu saat krisis.
Bagaimana ya? Nah, kalau bangun cuma 250 unit, dengan nilai proyek Rp1
triliun, maka proyek itu tidak ada kompetisi dengan orang lain. Membuat
pasar kita sendiri, yang membuat kompetitor kita tidak ada.
Nah saat itu, kami pikir proyek baru selesai lima tahun, tapi
ternyata tiga tahun selesai. Mendapat keuntungan dua kali lipat. Dari
situ, kami tidak mau menjadi second base. Kami mau menjadi the only one development.
Saat membangun Sky by Crown ada disain bagus, tetapi good is not great. It has to be great. Good is not enough, it must to be great. Karena secondary tidak akan diingat. Terbaik bukan berarti yang termahal. Caranya kami punya disain, bangun marketing, yang bekerja dengan cepat. Kami berkompetisi di market yang lagi slow. Bangunan 10 tingkat, senilai 28 juta dollar. Itu proyek pertama.
Proyek belum ada nama dan saat itu krisis, bagaimana strategi Anda?
Memang kalau tidak ada nama, kami tidak bisa jual dengan harga
mahal. Pada 1997, uang paling susah. Saat itu mendapatkan dukungan dari
bank sangat susah. Tidak punya pengalaman. Tidak tahu kenapa bank mau
memberi. Mungkin karena mitra saya sudah berpengalaman 10 tahun di atas
saya. Saya bonek (modal nekat). Tapi tanpa saya sadari, Crown Group sudah punya cikal bakal future developemt. Ada market, arsitek, bangunan. capital dan skill bergabung. Itu yang terjadi.
Karakter bangunan Crown seperti apa?
Crown itu terkenalnya uniqe. Arsitektur statement. Yang penting lagi, kami punya lima star resort konsep. Voyeger-nya
mewah, ada elemen air. Hidup saya di Kalimantan di atas air. Pohon itu
natural dalam hidup saya. Asri. Kami selalu ada fasilitas yang komplit.
Karena kami selalu mencari market yang prestigious. Menengah ke atas. Karena di market
ini, konsumen tidak melihat karena murahnya saja. Dia melihat karena
bagus. Seperti orang beli mobil, bukan karena murah tapi karena itu yang
mereka cari. Itulah yang menjadi target kita.
Crown itu tidak pernah mengejakan proyek jauh dari akses transportasi dan shopping center. Kenapa?
Kami menjaga investasi klien tetap bagus, sehingga yang beli lebih banyak, yang mau sewa juga lebih banyak. Lokasi penting, design yang urban look.
Tidak memberikan suatu feeling arrive, seperti hotel di Bali. Kebanyakan developer terlalu pelit. Pohon di gambar tinggi, tetapi dibangunnya yak segini
(tak sesuai gambar). 10 tahun lagi, baru sesuai gambar. Itu salah.
Kalau kami, pasang pohon kelapa yang tingginya sudah lima meter. Itu
yang kami create.
Lalu warna, kami seperti resort. Luis Vuitton begitu. Penting sekali. Dark, coklat, white. Its crown color. Kehangatan. Walaupun minimalis, saya mau make sure, kalau bangunan itu hommy. Tidak semua orang suka gedung itu putih. Tetapi, sebagai arsitek saya suka. Namun, tidak memunculkan hommy feeling.
Menurut penilaian Anda, karakter bangunan di Indonesia, khususnya apartemen, seperti apa?
Saya pikir ada yang bagus juga, seperti Pak Ciputra. Dia perhatikan lingkungan. Kenyamanan. Gedung untuk long term.
Dalam jangka panjang tetap bagus. Banyak sekali developer tidak
berpengalaman, gedungnya bagus tahun pertama, tahun kedua sudah hancur.
Karena tidak memikirkan detail. Tidak memikirkan dampak hujan. Baru dua
tahun sudah tampak 10 tahun. Terlebih lagi dampak polusi.
Lebih baik itu, less is better then less is more. Simple lebih bagus. Dalam arti itu, nothing is better then too many. The art of genius is creating clompex thing to be come simple. Contohnya begini. Yang kita ingat, gedung yang simple atau kompleks? Gedung yang iconic seperti Haba Bridge, Monas, Opera House. Ingat nggak gedung yang lain? Tidak kan, karena terlalu complex. Gedung BNI misalnya, karena iconic. Mata kita, pikiran kita.
sumber | oke77.blogspot.com | http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/444314-kisah-iwan-sunito-sukses-membangun-bisnis-di-australia
total komentar :
|